Potensi Wisata Gunung Nagara Di Desa Depok Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut Jawa Barat - Fasmawi Saban Blog's
Dikelola Oleh:Fasmawi Saban Sihabuddin S.H.,M.Hum. Diberdayakan oleh Blogger.

Potensi Wisata Gunung Nagara Di Desa Depok Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut Jawa Barat

DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab,
dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh
Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup
kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama
Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.
BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih
tersisa.*DOK. PRIBADI
Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada
sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara
bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia
lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru,binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara.Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong
(Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi.
Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali
menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.
Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut. Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP10.000,00, atau jika berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp 15.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran.
Dari kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas tidak ada jalan
menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing cadas yang menurut pemikiran normal tidak mungkin
untuk didaki tanpa peralatan panjat.
Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung Depok dengan jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok dikaitkan dengan padepokan. Artinya, perkampungan tersebut pada
awalnya merupakan padepokan tempat peristirahatan para gegeden. Sebenarnya, menurut Ki Ecep (sesepuh
kampung), pada era enam puluhan, kampung Depok masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang sama dengan Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.
Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai
Cikaso.
Bagi mereka yang suka akan keindahan alam,
alangkah baiknya terlebih dahulu mengunjungi Batu Opak yang berada kurang lebih setengah kilometer ke arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan fenomena geologis, yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju sungai dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan fenomena geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang.
Yaitu, ketika Sangkuriang akan menikah, Embah
Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi, baru saja mereka sampai di Leuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi batu.
Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, di kampung Depok inilah bisa menemui Ki Anang (kuncen)
untuk minta diantar. Dari Depok, kita melanjutkan perjalanan menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih
setengah kilometer, perjalanan ini melewati pesawahan yang tidak terlalu luas. Di Cidadap inilah terdapat
mata air yang dikeramatkan. Secara nalar, air dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan mendapat
tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal (Cidadap-Gunung Nagara).
Terkadang kita harus melewati jalanan yang kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan menjumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.
Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu
dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan.
Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu nisan. Dinamai
sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong).
Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuksebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kubur an yang dikenal dengan pusarankadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekira dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburanyangdikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini
Merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya.
Menurut Mantan Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga melambangkan sab’ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari
para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua merupakan kuburan panglima dan pusaran ketiga merupakan kuburan raja dan patih.
Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang
terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab.
Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam
bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar di perseorangan.
Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di
Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat di
dekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.
Legenda Kian Santang Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi (raja pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan asli
Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.
Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan Prabu Kian Santang.
Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau
sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya
dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan “Godog” yang mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan “Kawah Candradimuka”, dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut dinamakan “Suci”, yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.
Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara
menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi
kepentingan pariwisata