DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya,
khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih
jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam.
Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah
berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang,
Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak
menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil
yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan
yang terjadi sekira awal abad ke 13.
Situs Gunung Nagara
BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih tersisa.
Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung
cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian
para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman
flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon
burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak
jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan
belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan,
kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang
asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi.
Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota. oranye di atas
kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan
merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi
aba-aba dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas,
ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang
dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya
semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik,
surili, dan beragam jenis kupu-kupu.
Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut.
Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya
tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP.
25.000,00, atau jika berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga
perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp
30.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran. Dari kampung
tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas
tidak ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing
cadas yang menurut pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa
peralatan panjat.
Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung
Depok dengan jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok
dikaitkan dengan padepokan. Artinya, perkampungan tersebut pada awalnya
merupakan padepokan tempat peristirahatan para gegeden. Sebenarnya,
menurut Ki Ecep (sesepuh kampung), pada era enam puluhan, kampung Depok
masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang sama dengan
Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.
Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.
Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai Cikaso. Bagi mereka
yang suka akan keindahan alam, alangkah baiknya terlebih dahulu
mengunjungi Batu Opak yang berada kurang lebih setengah kilometer ke
arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan fenomena geologis,
yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju sungai
dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan
fenomena geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang. Yaitu, ketika
Sangkuriang akan menikah, Embah
Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi, baru saja mereka sampai diLeuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi batu.
Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi, baru saja mereka sampai diLeuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi batu.
Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, dikampung Depok inilah
bisa menemui Ki Sanang (kuncen) untuk minta diantar. Dari Depok, kita
melanjutkan perjalanan menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih setengah
kilometer, perjalanan ini melewati pesawahan yang tidak terlalu luas.
Di Cidadap inilah terdapat mata air yang dikeramatkan. Secara nalar, air
dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan mendapat tantangan
manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal
(Cidadap-Gunung Nagara). Terkadang kita harus melewati jalanan yang
kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan
menjumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak
pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa beristirahat cukup
santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai paling-paling memakan
waktu sekira setengah jam.
Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah
sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji
(kompleks pertama dikenal dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di
tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut
relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu
nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso
diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara
seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk
sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat
kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat
dua kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang
dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon
kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan
patihnya.
Menurut Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut
melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang
terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat)
pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga
melambangkan sab’ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan
menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama
itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya
perempuan, pusaran kedua diyakini sebagai makam asli Prabu Kian Santang
(Eyang Brajasakti) dan istrinya Ratu Gondowoni, dan pusaran ketiga
merupakan kuburan Prabu Siliwangi dan patihnya. Sebenarnya, jika kita
mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah
kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan
seorang berbangsa Arab (Syeh Abdal Jabar).
Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara
terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang,
naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung
Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang
peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih
ada, terpencar diperseorangan.
Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan
baginya untuk melakukan ritual mandi diSumur Tujuh. Sumur tersebut
berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat
didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan
kecil akibat dari resapan air.
Legenda Kian Santang
Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat
kaitannya dengan penyebaran Islam diwilayah Garut Selatan yang
disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau
sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan
terakhir Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (raja Pajajaran
yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut
terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara
itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan
terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan
asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.
Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat
persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah
Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di
tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi
merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk
Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan “Godog” yang mengandung
arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan “Kawah
Candradimuka”, dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah
tersebut dinamakan “Suci”, yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia
kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut
Selatan.
Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku
sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda
dihubungkan dengan tokoh Fatahilah sebagai utusan Demak, yang
diidentikan dengan Sunan Gunung Jati keponakan dari Prabu Walangsungsang
pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai
Prabu Surawisesa atau Ratu Sanghiang (1521-1535 M).
Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati
adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita
mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy
Effendie kepada garut.go.id di Garut, Selasa.
Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas
Ambetkasih, Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda.
Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Rakeyan Santang Parmana,
Walangsungsang dan Lara Santang, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda
melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua
yakni Prabu Surawisesa.
Sementara itu, Rakeyan Santang Parmana memiliki banyak nama antara
lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau
Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.
Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai
putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang
keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi
keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan
Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di
Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di
Cilauteureun.
Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut
diceriterakan Kean Santang di Islamkan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi
Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.
Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa
seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa
Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup
pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M
(579 M). Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi
adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padahal istrinya
Subanglarang beragama Islam, yang mendapatkan pendidikan agama sedari
belia oleh Syeh Quro dipesantren Quro.
“Info Terbaru”
Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan
kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam
pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam
membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M)
mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.
Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan
Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M)
Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri,
pertama Putri dari Calankanaya India, dan istri yang kedua berasal dari
Sumatera tidak memiliki anak sehingga mengangkat anak kemudian diakuinya
sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri.
Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada
adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat
memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (Wang Amet
Samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat
hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.
Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama
sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.
Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut
kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya
tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki
yang ketika melahirkan meninggal dunia.
Anaknya oleh Ki Parangdami dopanggil Rakeyan mengingat keturunan
seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke
tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42)
yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang
tinggi.
Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat
berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu
mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.
Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian
meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.
Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung /
hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan
oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit
sekali. Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu
Sudawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan,
timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat
Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan. Rakeyan Sancang unggul, Prabu
Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi
tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka
saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang
anak Sang Kretawarman. Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera
dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu
Siliwangi untuk di Islam-kan.
Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap
kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk
sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut
sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau
Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam
peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie
mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.
Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan
kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera
dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan
pariwisata.