Menghibahkan Diri untuk Palestina - Fasmawi Saban Blog's
Dikelola Oleh:Fasmawi Saban Sihabuddin S.H.,M.Hum. Diberdayakan oleh Blogger.

Menghibahkan Diri untuk Palestina


E-mail Cetak PDF
CYBER SABILI-- USIA BUKAN PENGHALANG bagi Darusman bin Nurkhamid, 52 tahun, yang menghibahkan diri sebagai relawan di Palestina. Sebelumnya, Abun, panggilan akrabnya, bekerja di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) selama 16 tahun.
Setelah bermuhasabah pada sebuah malam di tahun 2002, Abun memutuskan resign. Ia lantas  berdiskusi dengan istri, Yulia Sari, soal pilihan Abun menjadi relawan kemanusiaan. Istrinya mendukung. “Perjalanan hidup ini hanya sebentar, jika dihabiskan sia-sia maka tidak ada pahala yang akan didapatkan,” begitu batinnya berbisik.
Keputusan itu, tak semulus yang dibayangkan. Keluarga besar keduanya, mempertanyakan keputusan besar Abun. Bagaimana soal biaya hidup keluarga Abun? Sebuah pertanyaan yang lazim dikhawatirkan, mengingat Abun adalah seorang kepala keluarga yang masih harus menafkahi istri dan 11 anaknya. Seolah memiliki kekuatan baru, Abun mantap menjawab keraguan kerabatnya. “Jika kita berbuat baik kepada manusia maupun taat kepada Allah, maka pasti, pasti ada jaminan dari Allah,” Abun mengulang kata “pasti” dua kali.
Pada 2006, Abun mengikrarkan diri untuk membantu membebaskan Al-Aqsha. Ia merindukan menjadi syahid, seperti pejuang lain di Palestina. “Saat itu tidak masuk akal, mau dari sisi mana? Semua hanya dari bimbingan Allah,” katanya pasrah, seolah tak yakin bisa berangkat ke Palestina.
Tapi, kesempatan untuk menjejakkan kaki di Tanah Para Nabi itu, memang tak terduga. Gunung Merapi yang meletus pada akhir 2010 lalu, menjadi “pintu masuk” Abun ke kota suci umat Islam ketiga itu. Kala itu, Abun menjadi relawan Jakarta Rescue (JR). setelah satu bulan bertugas di Yogyakarta, ia dihubungi Aqsha Working Group (AWG) yang bekerja sama dengan MER-C,  menawarkan dirinya untuk menjadi relawan di Palestina.
Kemudian ia memperoleh izin dari pimpinan JR untuk meninggalkan Yogyakarta dan berangkat ke Palestina. Tak hanya memberi restu, pimpinan JR juga mengongkosi Abun sampai keberangkatannya ke Palestina, “Allahu Akbar...” pekik Abun spontan tak percaya.
Sebelum keberangkatannya ke Palestina, para relawan diseleksi termasuk Abun, di antaranya tes kesehatan dan bela diri. Ia mengaku tak ada persiapan khusus yang dilakukan selain menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan dan berkumpul bersama keluarga.
Doa lelaki kelahiran 19 Agustus 1960 ini, terjawab. Seolah tengah “berdagang” dengan Allah Swt, Abun telah “menjual” dirinya, demi “membeli” surga-Nya. Tak mudah memang, sebagai ayah dan suami, meninggalkan istri dan anak-anak serta kerabatnya di Indonesia, namun ia berusaha mengikhlaskan. Abun meyakini, ini merupakan sebuah peluang yang Allah berikan dan tidak diberikan kepada semua masyarakat di Indonesia maupun dunia.  “Dan ini bukan hebatnya saya, tapi Allah sedang menguji,” katanya merendah.
Pada 3 Desember 2010, Abun tiba di Palestina. Pemerintah otoritas Palestina menyambut kedatangan para relawan, termasuk Abun, begitu hangat. Ia serasa betah, seperti berada di negeri sendiri. Setiap ada acara kenegaraan, Indonesia selalu diundang. Itulah fakta bahwa mereka sangat mengharapkan kehadiran semua umat Islam di penjuru dunia.
Sebagai relawan AWG yang bekerjasama dengan MER-C, Abun mendapat tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Ia bertugas berbelanja kebutuhan pokok, memasak, menyediakan makanan bagi relawan lain, bahkan menjadi sopir yang mengantar aktivitas relawan lain. Dan yang paling penting, Abun menjalaninya dengan sukacita.
Kini, Abun sudah 14 bulan berada di sana. Ia menetap di wilayah Talil Islam, Jalur Gaza, terpaut ribuan kilometer dari rumahnya di Dusun Ciluluk, Desa Marga Jaya, Tanjung sari, Sumedang, Jawa barat. Selama itu, terhitung hanya tiga kali, ia berkomunikasi dengan istrinya, ketika Hari Raya Idul Adha, Hari Raya Idul Fitri dan  beberapa Ahad lalu (18/3). Tak banyak yang bisa diungkapkan selain bahasa kerinduan melalui air mata yang membuncahkan hatinya, seolah terbayang wajah istri dan anak-anaknya.
Apalagi, kondisi tempat Abun menetap di Palestina, terbilang berbahaya. Situasi keamanan, sulit diprediksi macam cuaca yang bisa berubah dalam hitungan jam. Menurut cerita Abun, terkadang dalam kesenyapan malam, kerap terdengar suara ledakan dan dalam sekejab, suasana menjadi kisruh.
Seperti yang dialami pada awal Maret lalu. Pada Jumat (9/3), sekitar pukul 16.00 waktu setempat, Abun dan beberapa kawan lainnya tengah berisitrahat. Sebuah ledakan terdengar dari radius 500 meter darinya, diikuti siine yang meraung-raung dan asap hitam yang membumbung di udara. Bukan berlindung, justru Abun dan kawan lainnya mencari sumber ledakan. Saat didekati, ternyata sumber ledakan itu berasal dari sebuah mobil milik mujahid yang meledak akibat ditembak oleh rudal dari pesawat tanpa awak (dron) milik zionis Israel.
Malamnya, sekitar pukul 20.00, para mujahid mengadakan serangan balik dengan meluncurkan roket ke arah Israel. Kejadian berikutnya bisa ditebak, terjadilah aksi baku balas, Israel menerbangkan pesawat Apache. Suasana bergemuruh di udara, dentuman ledakan terdengar dan serentak listrik di Gaza dipadamkan, membuat suasana malam begitu tegang, semakin gelap.
Pengalaman semacam itu, tak membuat keberanian lelaki asal Sumedang ini ciut, justru mengkristalkan tekadnya berjuang di Negeri Para Nabi. “Apapun yang terjadi, kami sangat ikhlas apapun yang menjadi putusan Allah,” katanya.
Gigihnya sosok relawan seperti Abun, ironinya, tak seperti ‘kegigihan’ yang ditampilkan Indonesia. Abun menyorot soal rencana bantuan Pemerintah SBY untuk membangun Rumah Sakit di Gaza. “Sampai saat ini, belum satu sen pun. Palestina adalah negeri yang berkah dan barang kali bantuan yang dulu dijanjikan masih harus menunggu waktu yang berkah,” katanya menutup pembicaraan.
Dimuat Sabili edisi 14/Th. XIX